Bicara soal anarkis-anarkis yang hidup jauh sebelum ‘diresmikannya’ istilah anarkis dan anarkisme itu sendiri oleh Proudhon, di kawasan Asia Tenggara ternyata ditemui beberapa komunitas masyarakat yang mana pola hidupnya dapat dikategorikan ke dalam masyarakat anarkis. Berbicara Asia Tenggara tentunya termasuk di dalamnya, Indonesia.
Masyarakat anarkistik ini ditemukan juga di dataran tinggi pegunungan Kendeng, Jawa. Masyarakat ini terbentuk dari para pelarian yang berusaha menghindari kekuasaan koersif ‘negara’—awalnya masih dalam bentuk kerajaan. Dalam kasus Tengger, motif awal para pelarian ini adalah upaya mempertahankan kebudayaan dan agamanya. Masyarakat Tengger ini secara eksplisit adalah non-muslim, para pemeluk Hindu yang melarikan diri dari gelombang Islamisasi yang hadir seturut runtuhnya kerajaan terakhir Majapahit di awal abad ke 16. Tapi walaupun mereka mengaku beragama Hindu, Robert Hefner yang meneliti soal masyarakat Tengger ini mencatat, “(Adalah) sesuatu yang menarik melihat populasi di dataran tinggi Tengger masih memeluk Hindu saat fitur-fitur lainnya seperti kasta, pengadilan dan aristokrasi, tidak eksis.” Populasi masyarakat dataran tinggi Kendeng secara periodik bertambah dengan hadirnya berbagai gelombang baru para pelarian dari dataran rendah. Di dataran rendah, kerajaan Mataram yang hadir di abad ke 17, secara berkala melakukan ekspedisi ke lembah-lembah untuk mengumpulkan budak, yang konsekwensinya mereka yang menghindari perbudakan melarikan diri me dataran tinggi yang dianggap relatif aman.
Pada 1670-an seorang pangeran Madura memberontak melawan Mataram—yang telah berada di bawah kekuasaan Belanda—dan saat pemberontakan dihancurkan, sisa-sisa para pemberontak melarikan diri ke dataran tinggi untuk menghindari pengejaran pasukan Belanda. Seorang budak, Surapati, melancarkan pemberontakan juga, dan juga, dihancurkan oleh Belanda. Tetapi para pengikutnya, terus melancarkan pemberontakan selama bertahun-tahun setelahnya dari dataran tinggi Kendeng. Selama 250 tahun, dataran tinggi Kendeng teradikalisir sebagai sebuah akumulasi para pelarian—dari perbudakan, pemberontakan yang dikalahkan, penarikan pajak, asimilasi budaya, tanam paksa di bawah Belanda.
Akhir abad 18, mayoritas populasi Kendeng berpindah ke dataran tertinggi—lokasi yang paling sulit diakses dan paling kuat pertahanannya secara geografik—atas tekanan ekonomi. Sejarah migrasi ini dikenang oleh para penghuni dataran tinggi non-muslim dengan melemparkan sebagian harta miliknya ke kawah, sebagai cara mengenang pelarian diri mereka dari pasukan muslim. Tradisi mereka, mengesampingkan konten Hindu-nya, secara budaya menegaskan sebuah tradisi yang kuat atas otonomi, saling berbagi dan dorongan anti-hirarki.
Perbedaan yang kontras dengan masyarakat yang tinggal di dataran rendah kala tersebut dicatat oleh seorang petugas kehutanan yang terkejut pada kehadiran pertamanya di sana, “Engkau tak dapat membedakan mana yang kaya dan yang miskin. Semua orang berbicara dengan cara yang sama, termasuk pada semua orang, tak peduli apa posisinya. Anak-anak berbicara pada orangtua mereka dan bahkan pada kepala desanya menggunakan bahasa yang sama, yang disebut ngoko. Tak seorangpun tunduk pada satu sama lain.”
Referensi buat bahan lebih lengkap:
Robert W. Hefner. Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam (Princeton; Princeton University Press, 1985).
Robert W. Hefner. The Political Economy of Mountain Java: An Interpretive History (Berkeley: University of California Press, 1990).
Catatan:
Dalam sebuah interview, Hefner mengemukakan bahwa ada komunitas masyarakat yang lebih egaliter di Asia Tenggara. Ia juga menyarankan untuk mempelajari karya Sven Cederroth, The Spell of the Ancestors and the Power of Mekkah: A Sasak Community on Lombok (Göteborg: Acta Universitatis Gothoburgensis, 1981) dan Martin Rössleer, Striving for Modesty: Fundamentals of Religion and Social Organization of the Makassares Patuntung (Dordrecht: Floris, 1990).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar