Senin, 21 November 2011

POTRET WANITA BALI

 From: Diah

Saya tak pernah meminta dilahirkan dikeluarga yang berkasta atau tidak, saya juga punya hak untuk menikah dengan orang biasa,meskipun karna itu saya tidak diakui sebagai anak!”

            “NASIB” Banyak wanita terjebak dalam kata itu.entah dya muda ataupun tua seolah kata itu menjadi momok yang mengerikan dalam hidup mereka.Saya, anda,dya dan mereka salah satu diantaranya.Menyimak sedikit dilema dan suratan garis sosial yang begitu menekan dimasyarakat menjadikannya semakin buruk dan buruk.Kesamaan gender yang belakangan bergaung mengangkat harkat dan derajat wanita dan menjadikannya sama sejajar dengan lelaki hanya sebatas wacana!
wanita bali kuno
            Taukah anda?kami wanita bali tak seberuntung anda diluar, kesenjangan gender sangat terasa dalam gaung tiap langkah kami.Diawali dengan mainset masyarakat kuno dimana jenjang pendidikan Wanita tak boleh melebihi pendidikan lelaki,ataupun anak perempuan tidak berhak untuk mengecap pendidikn seperti anak laki laki,karna katanya wanita hanya akan didapur.Tapi taukah anda?dari kalangan masyarakat menengah kebawah,hampir 80% pekerjaan’ baik itu pekerjaan rumah tangga maupun mencari nafkah dikerjakan oleh wanita.Sedangkan sang suami hanya “terima beres”.Sungguh pilu sangat pilu.Ketika justru sang istri yang menghidupinya,menghidupi seluruh anggota keluarganya sang suami hanya bisa meminta,bermain wanita dan mabuk!Dan ketika saya bertanya jawaban nya hanya “nak mule keto’ . Ditengah beban hidup yang berat yang harus mereka jalani mereka seolah tak punya pilihan selain pasrah,pasrah dan pasrah.Bagi hukum adat kami.ketika wanita sudah beranjak menikah dan keluar dari rumah orang tuanya.Wanita dianggap sudah bukan kewajiban atau beban dan bagian dari keluarganya.istilah nya”suba meidih” artinya sudah diminta.Jadi wanita sepenuhnya hak suami,apapun yang terjadi tetap hak suami.Jadi Hak wanita untuk Bercerai sebagaimana yang diatur dalam UU otomatis sudah ditiadakan.Bagaimana tidak bukan hukum negara lagi yang berbicara melainkan hukum adat.
wanita bali
            Ketika wanita itu bercerai dan keluar dari keluarga sang suami.kemungkinan kecil untuk bisa diterima di lingkungan keluarganya terdahulu(orang tuanya).karena hukum adat tidak membenarkannya.statusnya yang sudah “meidih” menjadikan nya serba salah.Keluarganya akan dikucilkan dan susah untuk membaur dengan masyarakat lagi.Jadi ketika wanita bali berstatus Janda atau bercerai maka ia tak punya tujuan untuk pulang.Bercermin dari realyta tersebut jarang ada wanita bali yang bercerai.”lebih baik pasrah dari pada harus dikucilkan dan kena sanksi adat”.
          Tak Hanya soal kesamaan gender.Status sosial atau kasta yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat juga merupakan polemik yang harus dihadapi kami kaum wanita.Bisakah saya,anda,dia dan mereka meminta untuk dilahirkan dikeluarga yang berkasta?tentu tidak kan? Dahulu kasta merupakan pekerjaan atau bidang keahlian yang ditekuni,namun seiring berkembangnya dimasyarakat pergeseran makna kasta mulai terjadi. Kini kasta merupakan status sosial yang menggambarkan garis keturunan keluarga di masyarakat. kasta dibali ada 4 yaitu:
Brahmana:Yakni orang orang yang menekuni kehidupan spiritual dan upacara keagamaan.Gelarnya Ida Bagus untuk laki laki dan Ida Ayu untuk wanita.
Ksatria     :Yakni orang orang yang bekerja atau bergelut dibidang pertahanan dan keamanan/pemerintahan.Gelarnya adalah Cokorda,Anak Agung dan Dewa/dewa ayu.
Weisya     : Yakni Orang orang yang bergerak di bidang ekonomi.Gelarnya adalah Gusti bagus untuk laki laki dan Gusti ayu untuk wanita.
Sudra       : Yakni orang orang yang bekerja mengandalkan tenaga(kuli). Gelar yang biasa dipakai adalah Putu/Wayan untuk anak 1,kadek/made untuk anak ke 2,Komang untuk anak ke 3,Ketut untuk anak ke 4.
Menyimak dari penjelasan di atas bukan kah jelas kasta bukan merupakan tolak ukur status sosial seseorang dimasyarakat.Namun realytanya Kasta justru menjadi polemik yang berlarut larut dalam keseharian dibali.Sebut saja Ayu,beliau merupakan wanita bali berkasta dewa ayu, menikah pada tahun 2000 dan kini telah dikaruniai seorang anak perempuan.Awalnya pernikahan mereka tidak disetujui oleh pihak keluarga wanita,alasannya karna kasta dari keluarga laki laki tidak setara dan sejajar.Suami ayu berasal dari keluarga SUDRA yakni keluarga biasa.Pertentangan demi pertentangan terus terjadi baik itu dari pihak keluarga maupun dari adat.
wanita bali jaman sekarang
Karena menurut hukum adat bila wanita yang berasal dari keluarga berkasta menikah dengan lelaki dari keluarga biasa status wanita itu “nyerod” atau turun kasta.Mbok ayu panggilan akrabnya tentu tidak keberatan untuk sanksi adat itu.Karena baginya ia tak pernah ingin dilahirkan di keluarga berkasta atau tidak.
Akhirnya ia bersama suami nekat kawin lari.Perkawinan mereka tidak dianggap sah baik oleh adat maupun keluarga wanita.Sanksi pun turun mbok Ayu dan Suami tidak diperkenankan menginjak kan kaki ke rumah keluarga wanita bahkan untuk sembahyang sekali pun.Dan ayu tidak diakui lagi sebagai bagian dari anggota keluarga. “Saya tak pernah meminta dilahirkan dikeluarga yang berkasta atau tidak, saya juga punya hak untuk menikah dengan orang biasa,meskipun karna itu saya tidak diakui sebagai anak!” 
Menilik dari cerita diatas pantas kah status sosial merenggut hak seorang wanita?bahkan hanya untuk menikah dan diakui oleh keluarganya sendiri.Semoga kisah dan perjuangan kami sebagai wanita akan terus bergulir dari masa ke masa. Istilah “babu dirumah sendiri” diharapkan tidak ada lagi dizaman yang modern ini.Kami hanya wanita biasa,wanita yang identik dengan lemah lembut dan kasih. Teruslah berjuang para SRIKANDI,Nasib tidak mengakhiri segalanya.