Rabu, 13 April 2011

SIPA FESTIVAL 2010

SIPA FESTIVAL 2010 
(Solo Internasional Perform Art 2010)

  Acara yang diselengarakan di Mangkunegaraan Solo ini merupakan acara Tahun yang ke 2 yang sebelumya juga pernah diselengarakan acara serupa di Solo di Tahun 2009.event ini di selengarakan dalam 3 hari berturut-turut yakni tanggal 16-18 juli 2010 di pura mangkunegaraan Solo.event tahun ne begitu banyak pengisi dari dalam negeri maupun dari luar Negeri.pada hari pertama yakni tanggal 16 juli 2010 pengisi acara dari Magelang,jawa tenggah,Austria,Bangka Belitung,Sumedang jawa Barat,Malaysia,dan Bali.di hari Ke 2 yakni tanggal 17 juli 2010, penampilan dari Bandung,Solo Jawa tengah,Jerman,Kutai kartanegara Kalimantan,Timor Leste,Mexico,Malang Jawa Timur,dan Bali.Dan hari terakhir yakni tanggal 18 juli 2010, panampilan Dari Wonogiri Jawa Tengah,Jepang,Bandung Jawa Barat,Medan Sumatera Utara,India,Banyumas Jawa Tengah,dan Yogyakarta.

Hari Ke 2, Dari Kutai Kartanegara Kalimantan,Dari Komunitas Sangar Tari SELEUN LETAIG DEA (MENYONGSONG CAHAYA MENTARI) Mempersembahkan sebuah pergelaran Teater yang sangat bagus dan sangat indah.Sedikit Sinopsis dari Sangar tari SELEUN LETAIG DEA.

GEMERSIK MAHAKAM MENYAPA
Alam lingkungan kehidupan komunitas, menempati tepi sungai Mahakam, telah menciptakan suasana fenomena dan peristiwa,senandung kehidupan masa lalu kembali berkelebat, seakan membuai menawarkan keteduhan,kedamaian,ketentraman.

Saat ini terasa tegang, tersobek, terkoyak,hilang dalam kehidupan, lebatnya belantara menjulangnya gunung, bergelanyutnya anggrek, panorama yang telah berinteraksi dengan warga dayak: Bahau, Lung gelaat, modang dan lainnya.

Dan ketikan ketenangan, kedamaian yang telah tercipta, terganggung, dilahap dikuras oleh keserakahan, keakusan. Betapa lagu kehidupan tidak lagi semerdu dan seindah dulu. Hubungan alam dan lingkungan telat kusut dan tegang, riuh dan ramainya marga satwa telah sepi.

Dimanakah harmonisasi?

Gemersik Mahakam menjadi  sumbang, deru bouldoser dari semua penjuru wajah mahakam kini buram, lebam, log, emas, batu barat, telah pergi dan terus pergi.

Akankah kembali lagi?


Hari terakhir di acara SIPA pertama kali yang tampi ’’Tari Risang Klono Sewadono’’ dari Sanggar Drama Giri Budaya.Bercerita tentang seorang putri yang cantik jelita bernama Dewi Sanggalangit.Sang putri bersumpah mau di peristri siapa saja asalkan bisa memenuhi permintaanya.Permintaan Dewi Sanggalangit adalah barang siapa bisa mengadakan pertunjukan seni yang belum pernah ada yaitu suatu tarian yang di iringi gamelan,dilengkapibarisan berkuda sebanyak seratus empat puluh ekor dan menghadirkan binatang berkepala dua. Maka dia akan menjadi suaminya. Dan tari Reog Ponorogo ini merupakan  perwujudan dari apa yang di inginkan Dewi Sanggalanggit.Dan penampilan Sanggar Drama Giri Budaya sangat bagus dan antusias penonton waktu itu sangat meriah melihat pertunjakan yang pertama, di malam terakhr SIPA 2010.

Selanjutnya penampilan dari Lambangsari dari Delegasi Jepang.Lambangsari menampilkan ”koch” yang bearti angin dari timur dan angin musim semi dalam bahasa Jepang. Judul pertunjukan tersebut mengekspresikan angin yang bertiup dari jepang yang terletak di sebelah timur Indonesia. Lagu yang akan dimainkan: “Sakura Sakura”,”kokirikobushi”,dan Medley lagu rakyat Okinawa yaitu :”Tanchhame”
Musik yang di pakai dalam pementasan itu sama seperti alat-alat musik tradisional Negara kita.dan lagunya sama persis dengan lagu jawab namun dengan bahasa Jepang.sangat menakjubkan.

Penampilan selanjutnya ’’TEATER PAYUNG HITAM’’ dari Bandung.Tubuh-tubuh tanpa nama terpampang di relief yang gelap.Tubuh-tubuh bau bangkai di bingkai indah,di pamerkan dimonumenkan menjadi sejarah yang kehilangan makna. Sebuah karya yang berjudul Bingkai Bangkai yang di tampilkan oleh Pyung Htam dari Kota kembang Bandung.

Berikutnya penamapilan dari pulau seberang yaitu penampilan dari Universitas Negeri Medan dengan pentas seni ’’Tari Cawan’’.Tarian ini merupakan sebuah tarian yang berasal dari Batak Toba,Sumatra Utara. Menceritakan tentang Ritual penyembuhan dan pengusiran roh-roh jahat yang menganggu kehidupan masyarakat Batak Toba. Ritual ini dilakukan oleh seorang dukun yang disebut “BASO”. Si Baso mengunakan sebuah cawan yang berisi air atau beras yang di yakini dapat menyembuhkan penyakit dan menyucikan masyarakat dari ganguan roh jahat.

Penampilan kelima dari delegasi India dengan perform Tari Tradisional India “Kathak Dacnce”.Tari Kathak adalah salah satu tari klasik dari India Utara.Tariannya banyak melibatkan gerakan berputar dengan satu kaki yang dilakukan dengan cepat daan berhenti pada posisi diam.Pertunjukan yang pertama berjudul “Shiva Vandana” dan yang berikutnya berjudul “Tarana”.
Shiva Vandana adalah karya yang mengambarkan bentuk pemujaan di dalam agama Hindu yang disebut puja.
Tarana adalah gaya vocal pada musik India yang dinyanyikan dengan tempo yang cepat mengunakan suku kata,suara yang berakar dari drum Pakhawaj.

Selanjutnya dari Banyumas JawaTengah dari kelompok Tari Pring sedhapur mencoba menggarap kerya tari dengan judul “Ronggeng Manis”.Karya tari ini merupakan sebuah karya yang terinspirasi dari Tari Lengger banyumasan yang diklaborasikan dengan vokabuler gerak gaya Bali dan Sunda sebuah proses pencarian pengembangan gerak baru yang segar tanpa meninggalkan akar budaya yang sds. Karya diiringin Calung, Gamelan dari bahan bambu.

Dan tiba di acara pemantasan yang terakhir di malam ini Solo Internasional Perform Art Festival 2010 (18/7).pementasan yang terakhir ini dari kota Gudeg Yogyakarta dengan nama “Gangsadewa”. Mengangkat unsur-unsur etnis Nusantara agar dapat di sosialisasikan dan diapresiasikan guna menambah khasanah perbendaharaan dunia musik Indonesia.Unsur etnis pentatonis, menghasilkan harmonisasi dalam nuansa meditatif yang mengalir dalam melodi yang bersumber dari unsur tradisi yang menjadi ciri khas dari kelompok musik ini.kecenderungan musik yang bernuansa etnis semakin menarik ketika hentakan baet turut mewarnai, akustik tradisional dikombinasikan dengan warna tiuoan beragai jenis seruling dari berbegai daeranh yang dimainkan sendiri oleh komposernya. Dan ini menjadi kekuatan sekaligus cirikhas dari kelompok musik Gangsadewa.

Demikian ragkaian acara SIPA Festival 2010 Tahun lalu dan Tahun depan akan diselengarakan Event yang sama di Kota Budaya (SOLO), hal ini di sampaikan oleh kepala dinas Kebudayaan kota Solo.Event yang sama akan di selengarakan pada tanggal 1-3 juli 2011.Selamat menyaksikan tahun ini.


Minggu, 03 April 2011

Punk Muslim

Oleh Farabi Ferdiansyah (Komunitas Djuanda) & Ariyanto 'Pethek' (Anak Seribupulau) 
P-U-N-K, mendengar keempat huruf itu, nampaknya ada sebagian orang yang akan menutup kuping, menutup mata ataupun ingin me-remove kata itu dari benaknya karena trauma atas perilaku negatif yang pernah dirasakannya atau takut karena melihat penampilan para anak punk.

Punk Blora
Punkers dari beberapa daerah di Indonesia

Kata ‘punk‘ sebenarnya biasa-biasa saja, namun yang membuat kata itu menakutkan adalah penganut kata-kata tersebut, atau penganut aliran musik keras yang selalu dikaitkan dengan punk. Entah benar atau tidak, banyak orang yang beranggapan dunia punk adalah dunia yang berkaitan tentang hal-hal yang dianggap negatif. 
Di tempatku (Blora, Jawa Tengah), aku sudah terbiasa bergaul dengan anak-anak punk, karena mayoritas teman-temanku di Komunitas Anak Seribupulau adalah anak punk. Hampir bosan aku melihat anak punk, entah kutukan atau apa, setiap aku keluar kota, aku juga selalu menemui anak punk. Ironis? Tidak juga. Terlalu berlebihan? Sangat!


Punk Blora
Punk Blora

Terkadang persepsi orang terhadap anak punk sangat berlebihan. Akulah saksi hidupnya, Ariyanto ‘Petek’ dari Blora. Aku sering bersama mereka, susah senang bersama, berkarya dan berkreatifitas bersama. Contohnya, dengan mendaur ulang sampah, memahat, cukil kayu menggunakan pisau (cutter), melukis, dan masih banyak lagi. Dan yang pasti menggunakan imajinasi kita sendiri. Ya mungkin itu gambaranku mengenai anak punk di daerahku, walaupun tampang mereka beringas, tapi kreatifitas mereka lebih beringas dari tampangnya. Nasi telah menjadi bubur, namun anak-anak punkdi sekitarku mampu mengubahnya menjadi bubur yang enak sekali, walaupun jiwa mereka sudah berkarat dengan aliran punk, mereka tetap kreatif dan inovatif, itulah sebabnya mereka masih bisa bertahan dan berkarya hingga detik ini. Aku pun bersyukur bisa berada di sekitar mereka.


Cukil kayu karya Komunitas Anak Seribupulau
Cukil kayu karya Komunitas Anak Seribupulau

Setelah disinggung, aku mulai bertanya, apa itu punk? Dari mana asal mula aliran punk itu? Aku pun yakin mayoritas anak-anak punk tidak tahu sejarah aliran punk yang mereka anut. Hanya petantang-petenteng dan ikut-ikut saja.
Pertanyaanku pun terjawab oleh ‘Paman Google’. Dikatakan, punk merupakan sub-budaya yang lahir di London, Inggris. Punk berarti jenis musik atau genre yang lahir di awal tahun 1970-an. Punk juga bisa berarti ideologi hidup yang mencakup aspek sosial dan politik, anti pemerintahan, idealis, kritis dan atheis.
Harus kuakui, awalnya mereka hanya ikut-ikutan saja, tidak tahu arti punksebenarnya. Itulah yang dialami oleh anak-anak punk di seluruh Indonesia. Berbeda sekali dengan anak punk di Inggris, mereka bukanlah anak-anak yang hanya hura-hura dan meresahakan para penumpang bus kota, melainkan para politisi yang selalu membaca koran, kritis, idealis, dan pengawas bagi negaranya.
Di sinilah telah terjadi pergeseran makna mengenai punk sesungguhnya, yang dinodai oleh perbuatan dan penampilan yang tidak mengenakkan mata, apabila kita melihatnya.
Itulah sekilas tentang dunia punk di kota tempatku tinggal. Di Ciputat, Tangerang Selatan, ternyata ada sebuah fenomena punk yang juga sangat menarik, yaitu Punk Muslim.


Punk Muslim
Punk Muslim

Punk Muslim?  Apa itu? Aneh-aneh saja, nampaknya hanya isapan jempol semata, karena menurutku aliran punk adalah aliran yang meniadakan keberadaan Tuhan, jadi mana mungkin bisa berkolaborasi dengan agama.
Ya, seperti itulah aku memfatwakan kata ‘Punk Muslim’. Sekilas aku menafsirkan anak-anak punk sebagai segerombolan anak muda yang anti kemapanan, hidup di jalanan, menjadi pengamen, tindikan dan tato menghiasi tubuh mereka, berpakaian serba hitam serta doyan mabuk-mabukan.Su’uzon? Mungkin, tapi menurutku tidak juga, karena pesan yang kutangkap dari perilaku dan bahasa tubuh mereka seperti itu.


Punk Islam sedang beraksi dalam Acara
Punk Islam sedang beraksi dalam Acara ‘Menelisik Lika-liku Kehidupan Punk Moslem’

Alhamdulillah, penafsiranku salah besar, ternyata tidak semua aliran punkmaupun anak-anak punk seperti itu. Nampaknya stereotip itu tidak melekat pada Punk Muslim. Ya, aku megetahuinya dari acara ‘Menelisik Lika-liku Kehidupan Punk Moslem’ yang diadakan oleh Lembaga Dakwah Kampus Syahid (LDK Syahid) di aula Student Center Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah (18/03). Dari talkshow tersebut aku mendapatkan ‘benang merah’ atas kegelisahanku, dan aku mulai meyakini, bahwa memang benar keberadaan Punk Muslim, dan kini tersebar di Indonesia (Jogjakarta, Palu, Semarang, Bengkulu, Indarmayu).
Merekalah Ahmad Zaki, Adi, dan (alm) Budi penggagas Punk Muslim.  Pada tahun 2002 (alm) Budi menceritakan kegelisahannya kepada Zaki (cendikiawan Muslim), (alm) Budi merasa gelisah, karena hidupnya sudah lanjut dan menyadari dosanya sudah banyak sekali, dan ia tidak mau neraka dipenui oleh anak-anak punk, maka ia mengusulkan agar dibuat pengajian bagi anak-anak punk yang dipimpin oleh (alm) Budi. Pada tahun itu terbentuklah pengajian rutin yang selalu dilakukan hari Kamis, sehabis shalat Isya. Alhamdulillah, itu berjalan, namun tidak beberapa lama Budi meninggal, Zaki tidak patah arang, Adi pun mendampingi melanjutkan perjuangan Budi.  Semakin lama, semakin banyak anak punk yang merapat kebarisan.


Ahmad Zaki
Ahmad Zaki (salah satu penggagas Punk Muslim)



Almarhum Budi, salah satu penggagas Punk Muslim
Almarhum Budi, salah satu penggagas Punk Muslim

Perjalanan Punk Muslim bukanlah semudah membalik telapak tangan, sudah banyak sekali tragedi-tragedi yang mengiris hati untuk menegakkan PunkMuslim, karena keberdirian Punk Muslim membuat para punkers gerah, parapunkers mengecam para punkers Muslim ini, bahkan hingga harus adu jotosoleh preman Pulo Gadung, mereka kalah. Walaupun begitu idealisme PunkMuslim mereka tidak akan pernah padam, inilah yang layak untuk dikatakan sebagai anak punk. Bahkan kegigihan mereka tergambarkan ketika mereka terpaksa kehilangan base camp yang mereka gunakan untuk mengaji, tidak ada rotan akar pun jadi, mungkin itulah yang membuat mereka terus bertahan. Ketika mereka tidak mempunyai base camp untuk mengaji, halte dan taman pun disulap menjadi tempat mengaji mereka.


Darma Putra (Ambon)
Darma Putra (Ambon)

Ambon, yang nama aslinya Dharma Putra, adalah salah satu anggota PunkMuslim yang berpendidikan pesantren. Sejak kecil, Ambon memang sudah terjun ke kehidupan jalanan, karena ada masalah internal dalam keluarganya. Walaupun sudah duduk di bangku pesantren, anak keturunan Kalimantan dan India ini tidak bisa meninggalkan dunia punk yang sudah mengalir di setiap aliran darahnya.  Ambon pun sudah lelah berbuat maksiat, tapi dunia punkterus membawanya ke ‘sana’. Ambon pun memilih jalan tengah. Ia pun menjadi bagian dari Punk Muslim. Banyak lagi, seperti Asep, Otoy dan lainnya, walaupun ada dari mereka yang bertato, tapi mereka tetap menjunjung tinggi keislaman mereka, walaupun mereka menyesali di akhir dan takkan mengucilkan mereka untuk beribadah.
Kawan, jangan mengira anak-anak Punk Muslim berpakaian baju muslim, berpeci atau memakai jilbab. Tidak Kawan, penampilan boleh urakan, tapi hati tetap Muslim. Filosofi yang sangat mendasar dari Punk Muslim adalah hadis nabi yang berbunyi, “sampaikanlah walau satu ayat.”  Walaupun mereka bertato, mereka mulai meninggalkan kebiasaan buruk mereka secara bertahap. “Yang dulunya lima botol, jadi tiga botol,” ucap Ahmad Zaki, selaku pembimbing Punk Muslim. Metode yang dilakukan Zaki bukanlah metodesapu jagad, tidak langsung mengatakan “Ini haram! Ini dosa!”, bukan itu cara berdakwah bagi anak jalanan, karena objek dakwah Zaki bukanlah orang yang bertipikal lembut, “Jika saya menggunakan cara itu, mereka pasti langsung kabur, nggak mau ngaji lagi,” ucap Zaki, “Di-Islamin, diurusin, dimandiin, disunatin, dikawinin dan dikuburin,” lanjut Zaki, sang penyejuk hati bagi paraPunk Muslim.


Penonton Acara Menelisik Lila-Liku Punk Moslem
Penonton Acara Menelisik Lila-Liku Kehidupan Punk Moslem

Melejit dengan cepat, itulah perkembangan Punk Muslim, semakin lama semakin melebarkan sayapnya ke seluruh Indonesia, walaupun kecaman terus mengganggu telinga mereka. Kini Punk Muslim akan meluncurkan album ke-duanya, setelah album pertama yang bertajuk Anarchy In The Dark Soul. Para anggotanya pun sudah banyak yang menikah dan bekerja.


Album pertama Punk Muslim 'Anarchy in The Dark Soul'
Album pertama Punk Muslim 'Anarchy in The Dark Soul'

Harapan Punk Muslim tidak muluk-muluk, hanya ingin anak-anak punkmengetahui filosofi mereka sebagai manusia, makhluk yang diciptakan oleh Sang Pencipta. Terserah kalian berasal dari latar belakang apa, aliran apa, menguikuti kegiatan apa, asalkan kalian jangan melupakan al-hak, sebagai pemeluk agama.
Lalu bagaimana dengan anak punk di sekitar kalian, Kawan?
Apakah mereka hanya punk yang ikut-ikutan saja?
Foto: Dari berbagai sumber

Sejarah Anarkis Lokal: Anarkis Dataran Tinggi Kendeng di Jawa

      Bicara soal anarkis-anarkis yang hidup jauh sebelum ‘diresmikannya’ istilah anarkis dan anarkisme itu sendiri oleh Proudhon, di kawasan Asia Tenggara ternyata ditemui beberapa komunitas masyarakat yang mana pola hidupnya dapat dikategorikan ke dalam masyarakat anarkis. Berbicara Asia Tenggara tentunya termasuk di dalamnya, Indonesia.


     Masyarakat anarkistik ini ditemukan juga di dataran tinggi pegunungan Kendeng, Jawa. Masyarakat ini terbentuk dari para pelarian yang berusaha menghindari kekuasaan koersif ‘negara’—awalnya masih dalam bentuk kerajaan. Dalam kasus Tengger, motif awal para pelarian ini adalah upaya mempertahankan kebudayaan dan agamanya. Masyarakat Tengger ini secara eksplisit adalah non-muslim, para pemeluk Hindu yang melarikan diri dari gelombang Islamisasi yang hadir seturut runtuhnya kerajaan terakhir Majapahit di awal abad ke 16. Tapi walaupun mereka mengaku beragama Hindu, Robert Hefner yang meneliti soal masyarakat Tengger ini mencatat, “(Adalah) sesuatu yang menarik melihat populasi di dataran tinggi Tengger masih memeluk Hindu saat fitur-fitur lainnya seperti kasta, pengadilan dan aristokrasi, tidak eksis.” Populasi masyarakat dataran tinggi Kendeng secara periodik bertambah dengan hadirnya berbagai gelombang baru para pelarian dari dataran rendah. Di dataran rendah, kerajaan Mataram yang hadir di abad ke 17, secara berkala melakukan ekspedisi ke lembah-lembah untuk mengumpulkan budak, yang konsekwensinya mereka yang menghindari perbudakan melarikan diri me dataran tinggi yang dianggap relatif aman. 



       Pada 1670-an seorang pangeran Madura memberontak melawan Mataram—yang telah berada di bawah kekuasaan Belanda—dan saat pemberontakan dihancurkan, sisa-sisa para pemberontak melarikan diri ke dataran tinggi untuk menghindari pengejaran pasukan Belanda. Seorang budak, Surapati, melancarkan pemberontakan juga, dan juga, dihancurkan oleh Belanda. Tetapi para pengikutnya, terus melancarkan pemberontakan selama bertahun-tahun setelahnya dari dataran tinggi Kendeng. Selama 250 tahun, dataran tinggi Kendeng teradikalisir sebagai sebuah akumulasi para pelarian—dari perbudakan, pemberontakan yang dikalahkan, penarikan pajak, asimilasi budaya, tanam paksa di bawah Belanda.



             Akhir abad 18, mayoritas populasi Kendeng berpindah ke dataran tertinggi—lokasi yang paling sulit diakses dan paling kuat pertahanannya secara geografik—atas tekanan ekonomi. Sejarah migrasi ini dikenang oleh para penghuni dataran tinggi non-muslim dengan melemparkan sebagian harta miliknya ke kawah, sebagai cara mengenang pelarian diri mereka dari pasukan muslim. Tradisi mereka, mengesampingkan konten Hindu-nya, secara budaya menegaskan sebuah tradisi yang kuat atas otonomi, saling berbagi dan dorongan anti-hirarki.



               Perbedaan yang kontras dengan masyarakat yang tinggal di dataran rendah kala tersebut dicatat oleh seorang petugas kehutanan yang terkejut pada kehadiran pertamanya di sana, “Engkau tak dapat membedakan mana yang kaya dan yang miskin. Semua orang berbicara dengan cara yang sama, termasuk pada semua orang, tak peduli apa posisinya. Anak-anak berbicara pada orangtua mereka dan bahkan pada kepala desanya menggunakan bahasa yang sama, yang disebut ngoko. Tak seorangpun tunduk pada satu sama lain.”




Referensi buat bahan lebih lengkap:

Robert W. Hefner. Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam (Princeton; Princeton University Press, 1985).
Robert W. Hefner. The Political Economy of Mountain Java: An Interpretive History (Berkeley: University of California Press, 1990).



Catatan:

Dalam sebuah interview, Hefner mengemukakan bahwa ada komunitas masyarakat yang lebih egaliter di Asia Tenggara. Ia juga menyarankan untuk mempelajari karya Sven Cederroth, The Spell of the Ancestors and the Power of Mekkah: A Sasak Community on Lombok (Göteborg: Acta Universitatis Gothoburgensis, 1981) dan Martin Rössleer, Striving for Modesty: Fundamentals of Religion and Social Organization of the Makassares Patuntung (Dordrecht: Floris, 1990).